6 Mei 2021M
SEBUTIR NASI YANG JATUH.
Dalam perjalanan mencari ilmu, Tuan Guru Habib Lutfi bin Yahya bertemu Kiyai Tua. Habib yang masih muda waktu itu kehairanan menyaksikan akhlak Kiyai. Waktu ada butiran nasi yang terjatuh lalu dipungut dan dikembalikan ke pinggan untuk dimakan kembali.
“Kenapa harus dikutip? Kan hanya nasi sebutir,” tanya Habib muda menduga.
“Jangan sekadar lihat ianya sebutir nasi. Adakah kamu boleh mencipta sebutir ni seorang diri sehingga jadi nasi?”
Habib muda terdiam. Kiyai Tua melanjutkan bicara.
“Ketahuilah. Waktu kita makan nasi, Allah dah menyatukan peranan ramai manusia. Nasi Bin Beras Bin Padi. Mula dari mencangkul, menggaru, buat bendang, menanam benih, memupuk, menjaga huma sampai membanting padi ada jasa banyak orang. Kemudian dari tanaman padi jadi beras dan jadi nasi. Terlalu ramai hamba Allah terlibat sampai jadi nasi.”
“Jadi kalau ada sebutir nasi sekalipun jatuh, ambillah. Jangan sebab masih banyak dalam pinggan, kita biarkan yang sebutir. Itu salah satu bentuk takabur, dan Allah tak suka manusia yang takabur. Kalau tak kotor dan tak bawa mudarat pada kesihatan kita, ambil dan satukan dengan nasi lainnya, sebagai tanda syukur kita”.
Habib muda mengangguk.
“Sebab itulah sebelum makan, kita diajarkan doa: Allahumma bariklana (Ya Allah berkatilah kami). Bukan Allahumma barikli (Ya Allah berkatilah aku), walaupun waktu tu kita makan sendirian.
“Lana” itu maknanya untuk semuanya:
Mulai petani, pedagang, pengangkut, pemasak sampai penyaji semuanya termaktub dalam doa tu. Jadi doa tu merupakan ucapan syukur kita serta mendoakan semua orang yang ada peranan dalam kehadiran nasi yang kita makan.”
“Dan kenapa dalam doa makan ada ayat: Waqina ‘adzaban nar (Jagalah kami dari azab neraka). Apa hubungan, makan dengan neraka pula?”
“Saya tak tahu,” jawab Habib muda.
“Begini. Kita makan ini hanya wasilah. Yang bagi kita 'rasa kenyang' adalah Allah. Kalau kita makan dan anggap yang bagi kenyang adalah makanan yang kita makan, maka takut itu akan menjatuhkan kita dalam kemusyrikan. Syirik! Dosa terbesar!”
“Astaghfirullahal‘adhim.” Habib muda, tak menyangka langsung makna doa makan sedalam itu.
• Catatan oleh Tuan Guru Maulana Habib Lutfi Bin Yahya, Pekalongan, Jawa Tengah, Indonesia
Tiada ulasan:
Catat Ulasan